Sabtu, 18 Agustus 2012


Gara-gara Koran Bekas
Oleh: Wendi Ichsan

Koran tidak saja berguna untuk menambah pengetahuan dan informasi tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar, namun memiliki manfaat yang sangat banyak. Hari itu, Koran menjadi penolong tunggal bagi keluarga saya. Pada saat ekonomi keluarga saya ketika itu sedang carut marut dan kedua adik saya berhenti bekerja, maka Koran seakan menjadi malaikat penolong. Kebetulan saya senang sekali membaca Koran, hari itu pula adik saya ikut membaca lowongan kerja yang ada di Koran tersebut. Untunglah, lowongan sebagai karyawan toko itu digemari oleh kedua adik saya, akhirnya mereka bekerja di sana hingga sekarang.
Tidak hanya untuk mencari informasi kerja dan pengetahuan, Koran juga membantu saya sebagai mahasiswa. Pasalnya, Koran memberikan imajinasi positif setiap kali saya membaca Koran. Selain itu, hobi menulis juga bisa saya praktekkan disini. Koran yang sudah saya baca hingga tamat, kemudian saya tumpuk di belakang rumah. Hasilnya, jumlah Koran yang saya koleksi tidak sedikit jumlahnya. Kalau dihitung-hitung, jumlahnya ribuan banyaknya.
Ketika itu, saya sangat membutuhkan uang untuk membayar buku dan seragam kuliah yang diwajibkan oleh dosen untuk mengambilnya. Terpaksa saya harus memutar otak untuk mencari pinjaman kepada rekan-rekan seperjuangan saya di kampus. Namun, hasil yang saya dapat nihil. Saya pun maklum, karena kehidupan anak kos serba kekurangan dan harus berpandai-pandai mengatur uang.
Setibanya di rumah, saya mencoba menceritakan keperluan untuk seragam dan buku itu kepada orangtua. Namun, orangtua saya juga sedang kesulitan keuangan. Untunglah ketika itu, adik saya yang paling bungsu mengingatkan bahwa Koran bekas yang saya kumpulkan di belakang rumah itu bisa di jual. Hati saya begitu lega ketika itu. Saya bergegas mengemasi dan mengikat Koran-koran bekas yang selama ini saya kumpulkan.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali saya langsung berangkat menggunakan becak milik paman saya untuk menjual Koran-koran itu ke pengumpul. Hasil tidak sedikit, uang sekitar 280 ribu saya dapatkan pagi itu dari hasil penjualan. Sejak saat itu saya berpikir bahwa hobi membaca Koran merupakan kebiasaan yang baik dan harus dilestarikan. Sebab, dengan membaca Koran dan menulis, kita mampu mengurangi beban orangtua dalam menanggulangi biaya kuliah.

Kamis, 10 November 2011

Puisi-Puisi Wendi Ichsan



Sepotong Wajah di Tengah Malam

Malam itu
Pikiranku yang kalut seperti hilang kesadaran
Tubuhku yang kerontang dan gigil habis dimakan embun malam
Hatiku terenyuh pada sepotong wajah yang bergantung pada dinding kayu rumahku yang keropos
Suara jangkrik yang risih mendampingiku menerawang pada sejarah yang mengharukan bagiku

Sedetikpun tak luput kupandangi wajah itu
Wajah yang senantiasa membasuh sepiku dan menerangi jalan hidupku

Ibu,
Pernahkah kau pinta aku menebus kasihmu?
Setelah engkau meninggalkan dunia ini, kau tak lagi memberiku nasehat
Kau hanya tersenyum manis di dinding itu
Senyummu yang merindu tak bisa lagi kutahan

Ibu,
Pernahkah kau katakan pada malam untuk menemaniku?
Semenjak kau beringsut dan berlalu kedunia lain
Kau hanya berbisik pada malam yang hening
Laraku hanya kau yang bisa melipurnya

Kuakhiri tangis dalam keheningan malam dengan sujud
Kupanjatkan do’a agar kau merasa lapang di alam sana
Semoga kau dekat dan tenang di sisi-Nya
Kamarangek, 10-10-2010


Kenangan Pilu

Gemericik air hujan merangkak di atap rumah
Diselingi nyanyian katak dan jangkrik bersahutan
Menengahi lamunku yang kosong

Kurebahkan raga pada tikar yang pernah kau tiduri
Saat kuterbaring lemah, kau tak lagi ada disampingku
Dalam pilu kukenang kasihmu
Hanya angan-angan yang kupunya
Hanya derita yang kulerai
Tangismu tak lagi meratapi kepedihanku
Candamu tak lagi membumbui senyumanku
Kamarangek, 10-10-2010

Siapa Aku

Siapa aku?
Seorang yang tak punya,

Orang-orang mengumbar hina diri ini
Karib kerabat memandang rendah derajat diri
Bukankah kita diciptakan untuk saling mengasihi?
Hati nurani tak mampu lagi mengendalikan diri mereka
Cacian demi cacian yang kutuang dalam semangkuk nasi

Siapa aku?
Seorang yang berjuang hidup,

Tetesan keringatku tak cukup berharga untuk mereka
Mereka yang mengumbar harapan pada budak-budak yang tergiur indah dunia
Bukankah kita disuruh untuk saling memberi?
Nafsu duniawi merambah keimanan mereka
Kenikmatan demi kenikmatan yang mereka raup di lembah dosa
Kamarangek, 10-10-2010

Cintailah Perdamaian




Damai adalah sebuah perilaku terpuji yang harus dilestraikan oleh umat manusia. Dengan bersifat cinta damai, kita mampu membuat dunia ini menjadi lebih baik, aman dan tenteram. Tidak akan ada perselisihan ataupun pertempuran di dunia ini. Untuk itu, hendaknya sifat cinta damai menjadi darah daging dalam diri setiap manusia agar kedamaian selalu terjaga.
Di belahan bumi, sudah sering terjadi perselisihan maupun pertempuran. Apalagi perselihan itu melahirkan pertempuran antara suatu bangsa dan bangsa lain. Pada dasarnya, maha pencipta sangat benci dengan pertempuran dan pertumpahan darah, kecuali dalam membela dan mempertahankan agama Allah. Tak sepantasnya perselisihan dijadikan sebagai tradisi dari waktu ke waktu.
Sebenarnya kita boleh saja berselisih dan berlawanan dengan bangsa lain asalkan bangsa kita tertindas dan merasa terganggu. Dalam hal seperti demikian memang sangat diperlukan semangat juang untuk menghancurkan bangsa pengacau tersebut. Namun sangat disayangkan, makna dan semangat tempur pada zaman dahulu itu sudah berlain makna oleh generasi muda.
Saat ini, perselisihan dan pertempuran tidak lagi diperuntukkan kepada bangsa lain yang mengganggu kedaulatan bangsa kita, tetapi kepada bangsa kita sendiri. Perselisihan yang marak di kalangan masyarakat dapat kita lihat dari maraknya tawuran antar pelajar dan mahasiswa. Sekarang ini, rasa persaudaraan sudah semakin tipis dikalangan generasi muda di Indonesia.
Tidak hanya pelajar yang melakoni tawuran, tetapi juga mahasiswa. Jika kita pikirkan sejenak, maka sangat tidak layak jika para mahasiswa melakukan tawuran. Padahal, mahasiswa adalah generasi penerus yang telah dianggap dewasa dan mampu berpikir untuk kemajuan bangsa, bukan untuk saling menghancurkan. Jika ini sering terjadi, bisa saja Indonesia akan runtuh di kemudian hari.
Setidaknya, para mahasiswa bisa mengarahkan pikirannya ke arah yang positif. Apa gunanya bersikap anarkis tanpa sebab yang pasti. Itu sangat tidak mencerminkan sebuah etika sebagai seorang mahasiswa dan sebagai warga negara yang baik. Hendaknya, tindakan anarkis yang terjadi di negeri ini menemukan jalan keluar yang baik agar tidak terjadi perselisihan untuk kesekian kalinya.
Jika seandainya mahasiswa berpikiran positif, tentu tidak akan ada perselisihan yang berarti. Akan lebih baik hidup dengan perdamaian dan menjalin hubungan persahabatan antar mahasiswa. Padahal, tawuran yang terjadi merupakan perselisihan antara beberapa orang saja, jadi yang lain tidak harus ikut. Cukup mereka saja yang menyelesaikannya dengan cara mereka tanpa mengikutsertakan pihak lain.
Rupa-rupanya, tidak pelajar dan mahasiswa saja yang candu dengan perselisihan dan perkelahian, warga masyarakat juga banyak yang mengalami perselisihan. Misalnya saja terjadinya perang antar kampung yang kerap kali mengundang korban jiwa. Jika hal seperti ini terus terjadi, maka keutuhan negara kesatuan republik Indonesia bisa terombang ambing. Hendaknya, mereka yang berselisih mampu berpikir dengan baik tentang apa yang dapat terjadi apabila melakukan perselisihan.
Kalau seandainya sekarang mereka berkelahi hanya untuk melampiaskan nafsu semata, maka esok bisa diganti dengan menjalin persahabatan antar warga dan antar sekolah. Semakin banyak teman, makin erat persatuan, maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang kuat dan disegani bangsa lain. Tidak akan ada lagi perselisihan dan perpecahan akan terhindari.
Maka dari itu kita harus menjalin persatuan dan kesatuan, agar tidak terjadi perselisihan antar masyarakat yang sebangsa dan se-tanah air. Indonesia akan menjadi bangsa yang padu, bersatu dan memiliki rasa kebersamaan jika semua yang dicita-citakan bangsa dapat terwujud. Dari hal-hal yang kita lihat, dapat disimpulkan bahwa kita harus menghargai perbedaan. Jangan diselesaikan dengan kekacauan, selesaikan dengan musyawarah. Tidak ada untung yang kita dapatkan dari perselihan sesama warga bangsa, karena perselisihan hanya akan membuat kerugian moril bagi bangsa kita sendiri.
Penulis, bergiat di Komunitas Ladangbaru Padang