Ku Tunggu di Pantai Gandoriah
Oleh: Wendi Ichsan
Sudah hampir satu tahun tak pernah berjumpa dengannya. Sudah selama itu pula tak pernah kupandang wajah manisnya, gadis yang bola matanya memikat pandangan, yang selalu memelas rasa sayangku. Ingin rasanya hatiku tuk kembali bertemu dengannya, bercanda tawa disini, tuk mengulang kisah cinta kami berdua yang telah lama berlalu. Di pantai ini, aku selalu bermenung sepi, sendiri, ditemani iringan hempasan ombak yang mengguncang lamunanku dan sejuknya kelembutan angin yang berhembus sepoi, yang selalu membuatku betah disini.
Sungguh tak pernah kusangka jadi begini. Aku tak kuasa hidup tanpa ada dirinya didekatku. Setiap malam aku selalu terlalu terbayang akan sinaran bola matanya dan pancaran bening wajahnya, meluluhkan hatiku. Mungkin aku yang salah, sehingga kekasihku Dinda, pergi meniggalkanku. Karena aku sampai saat ini belum mendapatkan pekerjaan, apalagi untuk menikahi Dinda, aku belum siap. Bagaimana caranya aku menjaga dapur itu agar tetap berasap. Memangku belum pantas untuk berumah tangga.
Hari ini kutatap langit biru di sudut pantai gandoriah, kubisikkan salam pada burung-burung yang lalu lalang jauh diatas kepala. Kesendirian membawaku pada lamunan yang kian redup. Lamunanku disadarkan oleh teriakan seseorang yang jauh disana. Ternyata itu Rio, adik kandungku sendiri.
“Kak Adi, ibu menyuruhmu untuk pulang kerumah, hari sudah senja!!!” mendengar ucapan Rio, aku pun pulang ke rumah.
Kupandangi sudut-sudut kamarku yang catnya sudah mulai terkelupas, bagaikan cintamu padaku saat ini. Juga kutatap poster sepakbola yang bergantungan di dinding kamarku yang lusuh. Usia poster-poster itu hampir sama dengan umur hubungan asmara kami berdua. Bedanya, poster itu selalu menemaniku setiap hari, tidak seperti kekasihku.
Segala cara telah kulakukan untuk melupakan kenangan yang telah lama sirna, tapi tetap saja, aku tak bisa melupakan wajah yang sering merona itu. Mungkin karena ia pernah membuatku bahagia, memberi semangat dan memotivasiku sehingga aku bisa menyandang gelar sarjana ini. Dalam hati aku berpikir, apakah Dinda masih memendam perasaan yang sama padaku.
Malam ini, sanak saudara ibu datang dari kampung. Dan kami makan bersama. Semua makan dengan lahapnya, tak sedikit yang memuji masakan ibu. Tapi, hanya aku yang makan tidak berselera.
“Ada apa, Di? Kok dari tadi nasinya gak dimakan, kamu sakit?”
“Nggak ada apa-apa, Bu. Adi gak sakit kok”.
Akupun langsung menyuap nasi dengan lahapnya.
Untuk kedua kalinya ibu menggugah lamunanku.
“Sebenarnya kamu kenapa, Di? Kok berhenti lagi makannya, apa masakan ibu gak enak?”.
Kembali aku tergugah dengan ucapan ibu. Aku sudah membuat hati ibu sedih, dengan keadaanku yang seperti ini. Selalu bermenung, sendiri, sepi. Tak ada yang mampu menggantikan Dinda dihatiku.
Aku terkadang iri pada burung yang bersama dengan pasangannya. Aku sangat berharap kehadiran Dinda. Ternyata, harapanku terkabul. Kudengar dari orang tua Dinda, bahwa mantan kekasihku itu akan pulang esok hari. Keesokan harinya, aku bersama-sama dengan orang tua Dinda pergi menjemput dinda di Bandara.
Tak kusangka, Dinda turun dari pesawat di gandeng seorang pemuda tampan yang berpenampilan necis. Kudekati dinda perlahan.
“Dinda, gimana kabar nya?, sehat aja kan...” ucapku sambil melemparkan sepotong senyum.
“Aku sehat di, Oya, kenalkan ini dion calon suamiku”. Mendengar kata itu, hancurlah dinding-dinding hatiku yang selama ini retak .
Ketika Dinda mengantarkan undangan ke rumah, di dalam hati hanya ada kesedihan. Kutangisi penantian yang telah kujaga selama ini. Semua sia-sia. Aku hanya bisa menahan rasa hati, apalagi aku dimintanya untuk menyanyikan sebuah lagu di acara pernikahannya.
Pemandu acara memanggil namaku. Kudendangkan lagu itu seperti perasaanku untuknya.
“Takkan pernah ada yang lain disisi
Segenap jiwa hanya untukmu...
Dan takkan mungkin ada yang lain disisi
Kuingin kau disini, tepiskan sepiku bersamamu
Hingga akhir waktu.”
Begitulah latunan lagu band dalam negeri yang kunyanyikan untuk melepas dirimu dengan dirinya. Dalam lagu itu, aku masih sangat mengharapkan Dinda jadi milikku, walaupun kini dia telah menjadi milik orang lain.
Tiga bulan sudah waktu berlalu, tak kusangka Dinda mengakhiri hubungannya dengan suaminya. Ternyata, dion menikahi Dinda bukan karena cinta. Ikatan suci itu hanya sebagai lambang, Dion menikah hanya karena kecantikan Dinda. Sekarang dion pergi meninggalkan Dinda. Tak seperti aku, yang menyayanginya dengan setulus hati. Walau Dinda pernah melupakanku.
Dinda menemui aku di pantai ini, sebuah pantai dimana cinta kami berdua pernah terukir dan bersatu dengan indahnya. Dinda menangis dihadapanku, menyesali bahwa dia telah menyakiti perasaanku. Kulihat kesedihan didalam hatinya, guliran bening itu jatuh membasahi pipinya. Bagaikan hujan deras yang jatuh membasahi bumi. Begitulah yang kurasakan di dalam hati. Kuusapkan punggung tangan ke pipinya untuk
menghapus tetes demi tetes air mata yang ia keluarkan untukku.
”Sudahlah Dinda, yang berlalu biarlah berlalu”, ucapku. pelan pelan kuangkat kepala nya, dan kusuruh dia menatap mataku dan mengisyaratkan bahwa aku selalu menunggunya disini. Karna sesungguhnya hatiku ini masih untuknya.
Hampir setahun waktu kulalui bersama Dinda, mengulang kembali kisah cinta yang telah lama sirna. Akhirnya, kuputuskan menikahinya. Kami berjanji di pantai kebanggaan kami berdua. Pantai nan elok, tempat terjalin hubungan asmara. Ternyata penantianku yang lama berakhir sudah. Tak sia-sia ku menunggumu disini, di pantai ini, sebuah pantai yang ku kenang selamanya. Pantai Gandoriah.
Penulis, bergiat di Komunitas Ladangbaru